Senin, 27 Februari 2017

Terpaksa untuk Ikhlas




        Gila memang, namun aku berterima kasih atas takdir yang DIA pilih melalui ayah. Jika saja saja saat itu hati seorang wanita tidak takluk dihadapan hati seorang anak, maka tak kutemukan bahagia di detik ini. Kisah ini dimulai ketika aku sedang melanjutkan studyku di salah satu universitas negeri di kota yang cukup jauh dari tempat asalku. Saat itu usiaku sudah 25 tahun. Aku pulang dari kampus lebih awal karena ujian hari itu telah berhasil kulalui dengan lancar. Saat tiba di asramaku, aku mendapat email dari ayah. Ayah memintaku untuk segera pulang setelah wisuda. Aku tidak boleh tinggal terlalu lama di sini. Aku bertanya kenapa aku harus buru-buru pulang? Aku telah berencana untuk bekerja di sini. Aku mendapat peluang besar untuk menjadi seorang yang sukses.
   “Mila, ayah minta kamu segera pulang setelah wisuda karena ada hal penting yang harus kita bahas. Bundamu sudah sangat merindukanmu. Ia ingin kamu segera kembali. Selain itu ayah telah merencanakan sesuatu untukmu. Ayah yakin kamu akan setuju. Karena itu, ayah tidak merundingkannya denganmu. Ayah tunggu kedatanganmu. Salam sayang dari ayah dan bunda.”
     Email yang cukup singkat namun sanggup membangkitkan kegelisahanku. Aku berpikir, apa yang sedang ayah rencanakan untukku? aku berbaring di atas tempat tidur, berharap bisa sedikit mendapat ketenangan setelah apa yang aku terima hari ini.
      Beberapa bulan kemudian, aku berhasil menyelesaikan studyku. Sayangnya wisudaku tidak dihadiri oleh kedua orang tuaku karena mereka sibuk dengan bisnisnya. Aku tidak heran akan hal itu. Meski begitu, aku tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang karena mereka selalu menyempatkan untuk menemaniku di waktu senggang. Setelah 4 tahun lamanya, aku kembali ke tanah airku tercinta. Semua tidak berubah masih sama seperti 4 tahun yang lalu. Rumah, bahkan kamarku masih sama persis seperti 4 tahun yang lalu. Kamar yang begitu kurindukan.
      Malam harinya, ayah dan bunda mengajakku makan malam di salah satu restoran. Ternyata ayah dan bunda juga turut mengajak keluarga teman ayah. Keluarga om Rayhan.
   “Mila, kenalin ini teman ayah, namanya om Rayhan. Ini istrinya, tante Indira dan anaknya, Fadhil.” Aku mencium tangan om Rayhan dan tante Indira. Akan tetapi, saat aku mengulurkan tanganku pada Fadhil, ia justru hanya menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
   “ini Kamila? Anak kamu yang sering kamu ceritakan itu?”
   “iya.”
   “dia cantik sekali yah.” Puji tante Indira. Aku hanya tersenyum manis.
     Setelah makan malam selesai, kami kembali ke rumah. Saat itulah ayah memberi tahu apa  yang telah ayah rencanakan.
    “Mila, gimana pendapat kamu tentang Fadhil?”
   “Memangnya kenapa, yah?”
   “Begini Mila. Beberapa bulan yang lalu, om Rayhan datang pada ayah dan membahas sesuatu yang sangat penting. Om Rayhan ingin kamu menikah dengan putranya, Fadhil. Ayah menyetujui hal itu karena ayah tahu Fadhil adalah pemuda yang sangat baik.”
   “Tapi Mila baru mengenalnya ayah.”
   “Ayah tahu, itulah mengapa tadi ayah mempertemukan kalian agar kalian bisa saling bertemu. Ayah tahu ini adalah masa depanmu, tapi ayah percaya bahwa Fadhil adalah imam yang terbaik untukmu.” Aku tidak punya pilihan lain kecuali menerima keputusan ayah. Ayah selalu mengorbankan segalanya untukku dan bunda telah berjasa melahirkanku. Aku tidak mungkin mengecewakan mereka.
        Selama sebulan kami menjalani sebuah proses yang disebut ta’aruf. Aku sendiri tidak memahami proses ini. Aku hanya tahu, sebelum seseorang menikah, ia seharusnya melalui  masa penjajakan yang kukenal dengan istilah pacaran. Untuk saling mengenal satu sama lain, aku dan Fadhil saling bertukar biodata. Seluruh informasi tentang Fadhil kuterima langsung dari tante Indira. Begitupun sebaliknya. Kami hanya bertemu saat harus membahas persiapan pernikahan kami, itupun selalu bersama orang tua kami.
    Setelah sebulan melalui masa ta’aruf, kami beranjak ke jenjang lainnya, khitbah atau lamaran. Seminggu setelah khitbah, pernikahan kami dilangsungkan. Saat hari pernikahan itu, untuk pertama kalinya aku mengenakan hijab. Fadhil sempat menyinggung masalah hijab ketika kami masuh berta’aruf dulu.
   “Mila, aku tidak mau kamu berpikir aku memaksamu dalam melakukan sesuatu apalagi itu menyangkut dirimu. Akan tetapi, aku sangat ingin melihatmu berhijab di acara pernikahan kita nanti. Hiasan yang sesungguhnya dari seorang wanita adalah hijabnya. Dengan mengenakan hijab, berarti dia telah menjaga auratnya dari lelaki lain yang bukan mahramnya. Hijab juga merupakan identitas seorang muslimah.”
      Entah mengapa, kata-kata Fadhil begitu menyentuh jiwaku. Ia menyampaikan hal itu dengan sangat halus sehingga tidak menyinggung perasaanku. Setelah mendengar kata-kata Fadhil, aku mencoba mengenakan hijab dan aku menyadari kecantikan yang selama ini belum pernah kulihat bahkan ketika aku mengenakan make up sebaik apapun. Kata-kata sederhana dari Fadhil telah membuka mataku akan pentingnya identitasku sebagai seorang muslimah. Suara ketukan pintu membuyarkan kenanganku. Ternyata bunda yang masuk ke kamarku.
    “Subhanallah, anak bunda cantik sekali. Pihak mempelai pria sudah datang. Sebentar lagi prosesi ijab qabul akan dimulai.” Aku merasakan perasaan yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Rasa gugup dan sedih yang bercampur menjadi satu. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang istri dan itu artinya aku harus meninggalkan orang tuaku dan hidup bersama suamiku. Orang yang akan memegang sepenuhnya tanggung jawab atas diriku. Dia adalah Fadhil Renaldy. Hatiku semakin mendesir dan perasaan itu semakin membuncah tatkala kudengar lantunan kalimat indah itu.
   “Saudara Fadhil Renaldy bin Rayhan Pratama Renaldy, saya nikahkan engkau dengan putriku, Kamila Putri Yudhistira binti Arman Yudhistira dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai senilai 2.211.000 rupiah dibayar tunai.”
   “Saya terima nikahnya Kamila Putri Yudhistira binti Arman Yudhistira dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
     Seluruh saksi mengucapkan satu kata yang memiliki makna besar bagiku. SAH. Kini aku telah resmi menjadi milik Fadhil. Akan tetapi bagaimana aku hidup dengan orang yang baru saja kukenal? Apa aku bisa beradaptasi dengan kehidupan baruku ini? Apa aku akan merasa nyaman? Semua pertanyaan itu menari-nari dalam benakku. Bunda menuntunku menuju pelaminan di mana Fadhil telah menungguku di sana. Aku dapat meliht senyum manis dari bibirnya. Dia memang begitu tampan. Diam-diam aku mulai tertarik pada suamiku ini. Hatiku tak henti-hentinya memuji dirinya. Bahkan seolah seluruh alam telah meneriakkan namanya. Setelah prosesi tukar cincin, untuk pertama kalinya tangan kami saling bersentuhan. Kurasakan detak jantungku yang semakin kencang dan tak beraturan. Kami berpindah pada prosesi sungkeman. Prosesi ini adalah prosesi yang paling menyita emosiku. Setelah itu, kami menggunakan mobil pengantin menuju rumah kami. Rumah yang memang sengaja disiapkan oleh Fadhil untuk pendampingnya kelak. Kata tante Indira yang mulai sekarang aku sebut mama, sudah lama Fadhil membangun istana ini untuk bidadari surganya kelak.
       Aku masuk ke kamar pengantin yang telah dirancang dengan indahnya. Aku mulai mengganti pakaian pengantinku dengan pakaian tidur. Fadhil masuk ke kamar.
   “Mila, sudah waktunya shalat isya. Sebaiknya kita shalat berjamaah.” Aku menurut saja pada Fadhil. Kekagumanku pada Fadhil kembali bertambah tatkala dia menjadi imamku saat shalat. Lantunan ayat suci Al-Qur’an terdengar begitu indah terlantun dari mulutnya. Setelah selesai menunaikan shalat isya, aku membereskan perlengkapan shalat dan beranjak ke ruang dapur. Aku menyiapkan menu sederhana untuk makan malam. Setelah selesai makan malam, aku membereskan piring kotor dan kembali ke kamar.
            Di kamar aku melihat Fadhil yang duduk di sofa dengan Al- Qur’an dalan genggamannya. Menyadari kehadiranku, Fadhil menyimpan Al-Qur’an itu dan memintaku duduk di salah satu sisi sofa. Setelah aku duduk, dia mulai bicara.
   “Aku mengerti perasaanmu saat ini. Kamu pasti masih belum bisa menerima pernikahan ini karena ini terlalu mendadak bagimu sehingga kamu belum mempersiapkan mentalmu. Mungkin kamu sekarang belum mencintaiku. Kalau memang pernikahan ini menyiksa batinmu, kenapa kamu tidak batalkan saja sejak kita masih dalam tahap ta’aruf.” Aku cukup terkejut mendengar ucapan Fadhil. Bagaimana bisa saat ini aku katakan bahwa aku mulai mencintainya?
   “Kenapa kamu diam Mila?”
   “Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu menerima perjodohan ini?”
   “Ini bukan perjodohan Mila. Bukan papa yang memintaku melamarmu, tapi aku sendirilah yang meminta papa agar melamarkanmu untukku.” Aku terkesiap.
   “Apa maksudmu?”
   “Saat itu aku dan papa bertemu dengan ayah. Tanpa sengaja aku menemukan dompet ayah yang jatuh dan aku melihat foto ayah, bunda bersama seorang gadis. Entah mengapa hatiku ingin sekali mengetahui siapa gadis itu. Saat aku menyerahkan dompet itu, ayah seolah mengerti perasaankuu. Ia bercerita panjang lebar tentangmu. Setiap kali mendengar ayah menyebut namamu, hatiku seolah yakin kaulah jodoh yang telah ditakdirkan untukku. Aku merasa telah mengenalmu begitu lama. Saat itulah aku meminta papa untuk melamarkanmu. Saat pertama kali kita bertemu, aku semakin yakin kaulah yang kucari selama ini. Tidak ada keraguan sedikitpun dalam hatiku untuk menikahimu. Aku justru terkejut saat melihat kamu mau mengenakan hijab tadi pagi. Aku benar-benar yakin bahwa pilihanku sudah tepat. Aku mencintaimu karena Allah. Aku hanya mengharapkan ridhhonya. Bagaimana denganmu? Apa pernikahan ini tidak membuatmu menyesal?”
   “Menyesal? Bagaimana mungkin aku menyesal saat aku menemukan seorang suami yang sangat mencintaiku bahkan sebelum bertemu denganku? Awalnya aku memang belum siap dengan pernikahan ini. Akan tetapi saat mendengar lantunan kalimat ijab qabul pagi tadi, aku merasa ada sesuatu dalam diriku yang terus menyebut namamu. Perasaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya menguasai hatiku. Ketika tadi aku menjadi makmummu dalam shalatku, aku bersyukur karena Allah telah mempertemukan kita. Aku semakin menyadari perasaan yang ada dalam diriku. Akupun merasa kau diciptakan untuk melengkapi kekuranganku. Aku sangat bahagia karena bisa menjadi istrimu.”
      Setelah mendengar jawabanku, Fadhil bangkit dari sofa dan berlutut di hadapanku. Ia menggenggam tanganku begitu erat. Kemudian ia mendekatkan tanganku ke bibirnya. Fadhil mengecup lembut kedua tanganku.
   “sekarang kamu adalah milikku. Lengkapilah kekuranganku dan jadilah bidadari surgaku.”
   “untuk menjadi bidadari surga bagimu, aku perlu bimbinganmu. Jangan perrnah lelah untuk membimbingku.” Fadhil menarikku ke dalam pelukannya. Aku merasakan perasaan nyaman yang tak pernah kurasakan dalam hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar