Sembunyi dalam kata,
menapaki jejak sang makna. Mencari jawaban akan rahasia yang tak kunjung
menyembul ke permukaan. Tak ada jalan lain kecuali tetap bersembunyi.
Bukan untuk berlari dari kenyataan dan segala bentuk permasalahan, namun
hanya sekedar memberi waktu pada diri dan dunia tuk sejenak menepi
seraya memburu jawaban dari titik demi titik jalan kehidupan yang masih
menjadi misteri.
Jauh di dalam jiwa terdapat sebuah tanda tanya, siapa yang dapat memahami makna lebih baik dari sang pemilik kata itu sendiri? Kata adalah bentuk nyata dari sebuah makna, sedang makna adalah asumsi. Asumsi itu terlahir dari pikiran-pikiran dangkal, seolah ilmunya bagai jurang tak berdasar. Itulah manusia! Berasumsi seolah ialah yang paling memahami, seolah ia yang paling benar sedang yang lain hanya sekedar omong kosong. Benar! Bualan tanpa makna dan hakikat pada sebuah konspirasi yang mengatasnamakan keyakinan.
Bersembunyi dalam kata
seakan lebih bijak untuk hari ini. Bukankah lebih baik untuk tetap diam
dari pada terus bersandiwara? Walau dunia adalah panggung sandiwara,
bukan berarti sandiwara menjadi satu-satunya pilihan dalam menjalani
kehidupan.
Memang nyata bahwa
setiap detik, hidup pun adalah sandiwara. Namun tidaklah benar untuk
bersandiwara dalam sandiwara karena setiap aktor memiliki perannya
sendiri. Tidaklah bijak untuk memainkan peran aktor lain di naskah yang
sama ketika karakter telah dalam genggaman. Alasannya bukan tentang
keserakahan, namun tentang sandiwara itu sendiri. Tidak akan ada yang
berjalan sebagaimana mestinya jika sebagian kecil saja telah berubah.
Biarkan semua berjalan seperti seharusnya. berada di posisi
masing-masing dan memainkan perannya sendiri. Seperti itulah dunia ini
berjalan.
Kata menjadi penghubung
antara gagasan dan implementasi. Kata menjadi jembatan antara hati dan
logika. Namun, di sisi lain, kata dapat menyembunyikan suara hati yang
enggan kubagi pada dunia. Aku memilih bersembunyi dalam kata, yang
kutulis di atas kertas putih, lalu kuumumkan pada dunia sebagai kisah
imajinatif tentang mereka yang seolah tak pernah ada. Aku berbagi namun
tak sepenuhnya berbagi laksana fatamorgana di Sahara. Seolah oasis,
namun nyatanya hanya bentang pasir kosong yang terik dan tandus.
Aku sembunyi dalam kata
bak akar yang bersembunyi dalam tanah. Sekalipun tak terlihat, pohon
'kan terus tumbuh di atas tanah selagi akarnya masih ada. Seperti itulah
aku bersembunyi namun tetap ada melalui kata yang tetap ada bahkan tak
henti mengalir memenuhi kertas usang itu. Biarkan mereka membaca!
Membaca setiap kata yang kutulis. Biarkan mereka belajar memahami makna
walau hanya sekedar asumsi tak mendasar. Nyatanya, bahkan impian
hanyalah asumsi sampai ia dapat diraih. Rupa dapat terlupa, nama akan
purna, namun kata-kata akan kekal seabadi kisah Romeo & Juliet milik
Shakespeare.
Mari bicara tentang
cinta. Kisah klasik yang menjadi dongeng pengantar tidur bagi anak cucu
Adam yang telah enggan disebut anak-anak. Kata-kata mengabadikan suatu
kisah yang semestinya hanya disaksikan mereka pada zaman itu dan hadir
di tempat itu. Karena kata membuat bahasanya sendiri terhadap kisah
cinta. Kisah inilah yang mendorongku sembunyi dalam kata laksana bulan
yang bersembunyi di balik awan malam ini. Aku ingin dunia menjadi saksi
kisah ini namun aku juga masih harus bersembunyi.
Ini adalah kisah
sederhana yang entah mengapa menjalaninya bagaikan benang kusut. Sulit
terurai, namun tak berarti mustahil. Anggap saja ini adalah sebuah kisah
tentang seorang gadis yang bertemu dengan pemuda sederhana namun pandai
bersandiwara. Seorang gadis bisu bertemu pemuda bertopeng yang enggan
menunjukkan wajah aslinya. Sang gadis bersembunyi dalam kata, sedang
sang pemuda bersembunyi di balik topeng. Entah bagaimana kisah ini akan
berakhir? Entah bagaimana mereka akan menanggalkan kamuflasenya,
berhenti bersembunyi dari takdir, waktu, dan cinta. Pada akhirnya, semua
'kan tunduk pada skenario besar yang sejak awal telah mereka perankan.
Palu, 31 Juli 2017
SHAMILA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar