Gila memang, namun aku berterima kasih atas takdir yang DIA pilih melalui ayah. Jika saja saja saat itu hati seorang wanita tidak takluk dihadapan hati seorang anak, maka tak kutemukan bahagia di detik ini. Kisah ini dimulai ketika
aku sedang melanjutkan studyku di salah satu universitas negeri di kota yang cukup jauh dari tempat asalku. Saat
itu usiaku sudah 25 tahun. Aku pulang dari kampus lebih awal karena ujian hari
itu telah berhasil kulalui dengan lancar. Saat tiba di asramaku, aku mendapat
email dari ayah. Ayah memintaku untuk segera pulang setelah wisuda. Aku tidak
boleh tinggal terlalu lama di sini. Aku bertanya kenapa aku harus buru-buru
pulang? Aku telah berencana untuk bekerja di sini. Aku mendapat peluang besar
untuk menjadi seorang yang sukses.
“Mila, ayah minta kamu segera pulang setelah wisuda karena ada hal
penting yang harus kita bahas. Bundamu sudah sangat merindukanmu. Ia ingin kamu
segera kembali. Selain itu ayah telah merencanakan sesuatu untukmu. Ayah yakin
kamu akan setuju. Karena itu, ayah tidak merundingkannya denganmu. Ayah tunggu
kedatanganmu. Salam sayang dari ayah dan bunda.”
Email yang cukup singkat namun sanggup membangkitkan kegelisahanku. Aku
berpikir, apa yang sedang ayah rencanakan untukku? aku berbaring di atas tempat
tidur, berharap bisa sedikit mendapat ketenangan setelah apa yang aku terima
hari ini.
Beberapa bulan kemudian, aku berhasil menyelesaikan studyku. Sayangnya
wisudaku tidak dihadiri oleh kedua orang tuaku karena mereka sibuk dengan
bisnisnya. Aku tidak heran akan hal itu. Meski begitu, aku tidak pernah merasa
kekurangan kasih sayang karena mereka selalu menyempatkan untuk menemaniku di
waktu senggang. Setelah 4 tahun lamanya, aku kembali ke tanah airku tercinta.
Semua tidak berubah masih sama seperti 4 tahun yang lalu. Rumah, bahkan kamarku
masih sama persis seperti 4 tahun yang lalu. Kamar yang begitu kurindukan.
Malam
harinya, ayah dan bunda mengajakku makan malam di salah satu restoran. Ternyata
ayah dan bunda juga turut mengajak keluarga teman ayah. Keluarga om Rayhan.
“Mila, kenalin ini teman ayah,
namanya om Rayhan. Ini istrinya, tante Indira dan anaknya, Fadhil.” Aku mencium
tangan om Rayhan dan tante Indira. Akan tetapi, saat aku mengulurkan tanganku
pada Fadhil, ia justru hanya menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
“ini Kamila? Anak kamu yang sering
kamu ceritakan itu?”
“iya.”
“dia cantik sekali yah.” Puji tante Indira.
Aku hanya tersenyum manis.
Setelah makan malam selesai, kami kembali ke rumah. Saat itulah ayah
memberi tahu apa yang telah ayah
rencanakan.
“Mila, gimana pendapat kamu
tentang Fadhil?”
“Memangnya kenapa, yah?”
“Begini Mila. Beberapa bulan yang
lalu, om Rayhan datang pada ayah dan membahas sesuatu yang sangat penting. Om
Rayhan ingin kamu menikah dengan putranya, Fadhil. Ayah menyetujui hal itu
karena ayah tahu Fadhil adalah pemuda yang sangat baik.”
“Tapi Mila baru mengenalnya ayah.”
“Ayah tahu, itulah mengapa tadi ayah
mempertemukan kalian agar kalian bisa saling bertemu. Ayah tahu ini adalah masa
depanmu, tapi ayah percaya bahwa Fadhil adalah imam yang terbaik untukmu.” Aku
tidak punya pilihan lain kecuali menerima keputusan ayah. Ayah selalu
mengorbankan segalanya untukku dan bunda telah berjasa melahirkanku. Aku tidak
mungkin mengecewakan mereka.
Selama sebulan kami menjalani sebuah proses yang disebut ta’aruf. Aku
sendiri tidak memahami proses ini. Aku hanya tahu, sebelum seseorang menikah,
ia seharusnya melalui masa penjajakan
yang kukenal dengan istilah pacaran. Untuk saling mengenal satu sama lain, aku
dan Fadhil saling bertukar biodata. Seluruh informasi tentang Fadhil kuterima
langsung dari tante Indira. Begitupun sebaliknya. Kami hanya bertemu saat harus
membahas persiapan pernikahan kami, itupun selalu bersama orang tua kami.
Setelah sebulan melalui masa ta’aruf, kami beranjak ke jenjang lainnya,
khitbah atau lamaran. Seminggu setelah khitbah, pernikahan kami dilangsungkan.
Saat hari pernikahan itu, untuk pertama kalinya aku mengenakan hijab. Fadhil
sempat menyinggung masalah hijab ketika kami masuh berta’aruf dulu.
“Mila, aku tidak mau kamu berpikir aku memaksamu dalam melakukan sesuatu
apalagi itu menyangkut dirimu. Akan tetapi, aku sangat ingin melihatmu berhijab
di acara pernikahan kita nanti. Hiasan yang sesungguhnya dari seorang wanita
adalah hijabnya. Dengan mengenakan hijab, berarti dia telah menjaga auratnya
dari lelaki lain yang bukan mahramnya. Hijab juga merupakan identitas seorang
muslimah.”
Entah mengapa, kata-kata Fadhil begitu menyentuh jiwaku. Ia menyampaikan
hal itu dengan sangat halus sehingga tidak menyinggung perasaanku. Setelah
mendengar kata-kata Fadhil, aku mencoba mengenakan hijab dan aku menyadari
kecantikan yang selama ini belum pernah kulihat bahkan ketika aku mengenakan
make up sebaik apapun. Kata-kata sederhana dari Fadhil telah membuka mataku
akan pentingnya identitasku sebagai seorang muslimah. Suara ketukan pintu
membuyarkan kenanganku. Ternyata bunda yang masuk ke kamarku.
“Subhanallah, anak bunda cantik sekali. Pihak mempelai pria sudah
datang. Sebentar lagi prosesi ijab qabul akan dimulai.” Aku merasakan perasaan
yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Rasa gugup dan sedih yang bercampur
menjadi satu. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang istri dan itu artinya aku
harus meninggalkan orang tuaku dan hidup bersama suamiku. Orang yang akan
memegang sepenuhnya tanggung jawab atas diriku. Dia adalah Fadhil Renaldy.
Hatiku semakin mendesir dan perasaan itu semakin membuncah tatkala kudengar lantunan
kalimat indah itu.
“Saudara Fadhil Renaldy bin
Rayhan Pratama Renaldy, saya nikahkan engkau dengan putriku, Kamila Putri
Yudhistira binti Arman Yudhistira dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan
uang tunai senilai 2.211.000 rupiah dibayar tunai.”
“Saya terima nikahnya Kamila Putri
Yudhistira binti Arman Yudhistira dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
Seluruh
saksi mengucapkan satu kata yang memiliki makna besar bagiku. SAH. Kini aku telah
resmi menjadi milik Fadhil. Akan tetapi bagaimana aku hidup dengan orang yang
baru saja kukenal? Apa aku bisa beradaptasi dengan kehidupan baruku ini? Apa
aku akan merasa nyaman? Semua pertanyaan itu menari-nari dalam benakku. Bunda menuntunku
menuju pelaminan di mana Fadhil telah menungguku di sana. Aku dapat meliht
senyum manis dari bibirnya. Dia memang begitu tampan. Diam-diam aku mulai
tertarik pada suamiku ini. Hatiku tak henti-hentinya memuji dirinya. Bahkan
seolah seluruh alam telah meneriakkan namanya. Setelah prosesi tukar cincin,
untuk pertama kalinya tangan kami saling bersentuhan. Kurasakan detak jantungku
yang semakin kencang dan tak beraturan. Kami berpindah pada prosesi sungkeman.
Prosesi ini adalah prosesi yang paling menyita emosiku. Setelah itu, kami menggunakan
mobil pengantin menuju rumah kami. Rumah yang memang sengaja disiapkan oleh
Fadhil untuk pendampingnya kelak. Kata tante Indira yang mulai sekarang aku
sebut mama, sudah lama Fadhil membangun istana ini untuk bidadari surganya
kelak.
Aku masuk ke kamar pengantin yang telah dirancang dengan indahnya. Aku
mulai mengganti pakaian pengantinku dengan pakaian tidur. Fadhil masuk ke
kamar.
“Mila, sudah waktunya shalat isya. Sebaiknya kita shalat berjamaah.” Aku
menurut saja pada Fadhil. Kekagumanku pada Fadhil kembali bertambah tatkala dia
menjadi imamku saat shalat. Lantunan ayat suci Al-Qur’an terdengar begitu indah
terlantun dari mulutnya. Setelah selesai menunaikan shalat isya, aku
membereskan perlengkapan shalat dan beranjak ke ruang dapur. Aku menyiapkan
menu sederhana untuk makan malam. Setelah selesai makan malam, aku membereskan
piring kotor dan kembali ke kamar.
Di kamar aku melihat Fadhil yang duduk di sofa dengan Al- Qur’an dalan
genggamannya. Menyadari kehadiranku, Fadhil menyimpan Al-Qur’an itu dan
memintaku duduk di salah satu sisi sofa. Setelah aku duduk, dia mulai bicara.
“Aku mengerti perasaanmu saat
ini. Kamu pasti masih belum bisa menerima pernikahan ini karena ini terlalu
mendadak bagimu sehingga kamu belum mempersiapkan mentalmu. Mungkin kamu
sekarang belum mencintaiku. Kalau memang pernikahan ini menyiksa batinmu,
kenapa kamu tidak batalkan saja sejak kita masih dalam tahap ta’aruf.” Aku
cukup terkejut mendengar ucapan Fadhil. Bagaimana bisa saat ini aku katakan bahwa
aku mulai mencintainya?
“Kenapa kamu diam Mila?”
“Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu
menerima perjodohan ini?”
“Ini bukan perjodohan Mila. Bukan papa
yang memintaku melamarmu, tapi aku sendirilah yang meminta papa agar
melamarkanmu untukku.” Aku terkesiap.
“Apa maksudmu?”
“Saat itu aku dan papa bertemu dengan
ayah. Tanpa sengaja aku menemukan dompet ayah yang jatuh dan aku melihat foto
ayah, bunda bersama seorang gadis. Entah mengapa hatiku ingin sekali mengetahui
siapa gadis itu. Saat aku menyerahkan dompet itu, ayah seolah mengerti
perasaankuu. Ia bercerita panjang lebar tentangmu. Setiap kali mendengar ayah
menyebut namamu, hatiku seolah yakin kaulah jodoh yang telah ditakdirkan
untukku. Aku merasa telah mengenalmu begitu lama. Saat itulah aku meminta papa
untuk melamarkanmu. Saat pertama kali kita bertemu, aku semakin yakin kaulah
yang kucari selama ini. Tidak ada keraguan sedikitpun dalam hatiku untuk
menikahimu. Aku justru terkejut saat melihat kamu mau mengenakan hijab tadi
pagi. Aku benar-benar yakin bahwa pilihanku sudah tepat. Aku mencintaimu karena
Allah. Aku hanya mengharapkan ridhhonya. Bagaimana denganmu? Apa pernikahan ini
tidak membuatmu menyesal?”
“Menyesal? Bagaimana mungkin aku
menyesal saat aku menemukan seorang suami yang sangat mencintaiku bahkan
sebelum bertemu denganku? Awalnya aku memang belum siap dengan pernikahan ini.
Akan tetapi saat mendengar lantunan kalimat ijab qabul pagi tadi, aku merasa
ada sesuatu dalam diriku yang terus menyebut namamu. Perasaan yang tak pernah
kurasakan sebelumnya menguasai hatiku. Ketika tadi aku menjadi makmummu dalam
shalatku, aku bersyukur karena Allah telah mempertemukan kita. Aku semakin
menyadari perasaan yang ada dalam diriku. Akupun merasa kau diciptakan untuk
melengkapi kekuranganku. Aku sangat bahagia karena bisa menjadi istrimu.”
Setelah mendengar jawabanku, Fadhil bangkit dari sofa dan berlutut di
hadapanku. Ia menggenggam tanganku begitu erat. Kemudian ia mendekatkan
tanganku ke bibirnya. Fadhil mengecup lembut kedua tanganku.
“sekarang kamu adalah milikku. Lengkapilah kekuranganku dan jadilah
bidadari surgaku.”
“untuk menjadi bidadari surga bagimu,
aku perlu bimbinganmu. Jangan perrnah lelah untuk membimbingku.” Fadhil
menarikku ke dalam pelukannya. Aku merasakan perasaan nyaman yang tak pernah
kurasakan dalam hidupku.