Senin, 28 Agustus 2017

Sembunyi dalam Kata

Sembunyi dalam kata, menapaki jejak sang makna. Mencari jawaban akan rahasia yang tak kunjung menyembul ke permukaan. Tak ada jalan lain kecuali tetap bersembunyi. Bukan untuk berlari dari kenyataan dan segala bentuk permasalahan, namun hanya sekedar memberi waktu pada diri dan dunia tuk sejenak menepi seraya memburu jawaban dari titik demi titik jalan kehidupan yang masih menjadi misteri.

Jauh di dalam jiwa terdapat sebuah tanda tanya, siapa yang dapat memahami makna lebih baik dari sang pemilik kata itu sendiri? Kata adalah bentuk nyata dari sebuah makna, sedang makna adalah asumsi. Asumsi itu terlahir dari pikiran-pikiran dangkal, seolah ilmunya bagai jurang tak berdasar.  Itulah manusia! Berasumsi seolah ialah yang paling memahami, seolah ia yang paling benar sedang yang lain hanya sekedar omong kosong. Benar! Bualan tanpa makna dan hakikat pada sebuah konspirasi yang mengatasnamakan keyakinan.
Bersembunyi dalam kata seakan lebih bijak untuk hari ini. Bukankah lebih baik untuk tetap diam dari pada terus bersandiwara? Walau dunia adalah panggung sandiwara, bukan berarti sandiwara menjadi satu-satunya pilihan dalam menjalani kehidupan. 

Memang nyata bahwa setiap detik, hidup pun adalah sandiwara. Namun tidaklah benar untuk bersandiwara dalam sandiwara karena setiap aktor memiliki perannya sendiri. Tidaklah bijak untuk memainkan peran aktor lain di naskah yang sama ketika karakter telah dalam genggaman. Alasannya bukan tentang keserakahan, namun tentang sandiwara itu sendiri. Tidak akan ada yang berjalan sebagaimana mestinya jika sebagian kecil saja telah berubah. Biarkan semua berjalan seperti seharusnya. berada di posisi masing-masing dan memainkan perannya sendiri. Seperti itulah dunia ini berjalan.

Kata menjadi penghubung antara gagasan dan implementasi. Kata menjadi jembatan antara hati dan logika. Namun, di sisi lain, kata dapat menyembunyikan suara hati yang enggan kubagi pada dunia. Aku memilih bersembunyi dalam kata, yang kutulis di atas kertas putih, lalu kuumumkan pada dunia sebagai kisah imajinatif tentang mereka yang seolah tak pernah ada. Aku berbagi namun tak sepenuhnya berbagi laksana fatamorgana di Sahara. Seolah oasis, namun nyatanya hanya bentang pasir kosong yang terik dan tandus.
Aku sembunyi dalam kata bak akar yang bersembunyi dalam tanah. Sekalipun tak terlihat, pohon 'kan terus tumbuh di atas tanah selagi akarnya masih ada. Seperti itulah aku bersembunyi namun tetap ada melalui kata yang tetap ada bahkan tak henti mengalir memenuhi kertas usang  itu. Biarkan mereka membaca! Membaca setiap kata yang kutulis. Biarkan mereka belajar memahami makna walau hanya sekedar asumsi tak mendasar. Nyatanya, bahkan impian hanyalah asumsi sampai ia dapat diraih. Rupa dapat terlupa, nama akan purna, namun kata-kata akan kekal seabadi kisah Romeo & Juliet milik Shakespeare.

Mari bicara tentang cinta. Kisah klasik yang menjadi dongeng pengantar tidur bagi anak cucu Adam yang telah enggan disebut anak-anak. Kata-kata mengabadikan suatu kisah yang semestinya hanya disaksikan mereka pada zaman itu dan hadir di tempat itu. Karena kata membuat bahasanya sendiri terhadap kisah cinta. Kisah inilah yang mendorongku sembunyi dalam kata laksana bulan yang bersembunyi di balik awan malam ini. Aku ingin dunia menjadi saksi kisah ini namun aku juga masih harus bersembunyi. 


Ini adalah kisah sederhana yang entah mengapa menjalaninya bagaikan benang kusut. Sulit terurai, namun tak berarti mustahil. Anggap saja ini adalah sebuah kisah tentang seorang gadis yang bertemu dengan pemuda sederhana namun pandai bersandiwara. Seorang gadis bisu bertemu pemuda bertopeng yang enggan menunjukkan wajah aslinya. Sang gadis bersembunyi dalam kata, sedang sang pemuda bersembunyi di balik topeng. Entah bagaimana kisah ini akan berakhir? Entah bagaimana mereka akan menanggalkan kamuflasenya, berhenti bersembunyi dari takdir, waktu, dan cinta. Pada akhirnya, semua 'kan tunduk pada skenario besar yang sejak awal telah mereka perankan.

Palu, 31 Juli 2017
SHAMILA